Al-Khaula' binti Tuwait, Ketaatan
Sewangi Parfum
Tokoh sahabat perempuan
(shahabiyah) kali ini, terbilang unik.
Abu Naim al-Ashbahani, dalam kitabnya yang berjudul “Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’—kitab yang memuat kumpulan para wali dan ahli zuhud—menyebutnya sebagai simbol bagi wanita yang bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah SWT dan komitmen menempuh jalan tersebut.
Bahkan, lantaran kegigihan berolah spiritual, shahabiyah itu pun nyaris tak menghiraukan kesehatan dirinya. Semua itu, ia lakukan untuk mencapai rida-Nya. Sosok yang dimaksud al-Ashbahani itu, tak lain ialah Al-Haula’ binti Tuwait.
Tak banyak cerita tentang riwayat perihal kelahiran, keluarga, dan sepak terjang, serta catatan kematian tokoh yang bernama lengkap Al-Haula’ binti Tuwait bin Habib bin Asad bin Abd al-Uzza bin Qushayyi al-Quraisyiyah al-Asadiyah itu. Cerita tentang dirinya, dipenuhi dengan kisah ketaatannya.
Setelah berikrar syahadat dan berbaiat untuk taat kepada Rasulullah SAW pascaperistiwa hijrah, ia mendedikasikan hidupnya bagi agama. Satu hal lagi yang tampaknya disepakati para penulis sejarah, ia adalah teladan gemar ibadah dan cermin ketaatan. Prestasi inilah yang menempatkannya istimewa di sisi Rasulullah.
Aisyah RA menuturkan, Rasulullah pernah melakukan penyambutan khusus ketika al-Haula’ menghadap. Penyambutan hangat itu mengundang pertanyaan Aisyah. Apa yang membuat al-Haula’ dimuliakan sedemikian rupa?
Menurut Rasulullah, penghormatan itu diberikan lantaran al-Haula telah berkomunikasi baik dengan keluarga Nabi ketika Khadijah masih hidup meskipun al-Haula’ belum memeluk Islam.
Produktif
Produktivitas hidupnya tak diragukan. Siang hari, ia mencari nafkah sebagai penjual minyak wangi di Madinah. Profesinya itu pun tersohor hingga ia dijuluki at-tharah. Kala manusia tertidur lelap, kedua matanya terjaga.
Hatinya terpaku “berkomunikasi” dengan Tuhannya. Sepanjang malam, ia berzikir, bertasbih, bertahmid, dan menengakkan shalat. Hampir saja, ritualnya itu mengalahkan kesehatan fisiknya. Ia beribadah dan urung tidur malam. Kisah tentang ketekunannya yang menomorduakan kebutuhan dan hak jasmani pun menyebar luas. Kabar yang sama pula akhirnya sampai di telinga Aisyah, istri Rasulullah.
Aisyah mengabarkan kepada Rasulullah bahwa al-Haula’ binti Tuwait bin Habib bin Asad bin Abdul ‘Uzza melewatinya, sementara di sisinya ada Rasul.
Aisyah pun berkata, “Saya berkata, ‘Wanita ini adalah al-Haula’ binti Tuwait, orang-orang menganggap bahwa ia tidak pernah tidur malam.”
Maka, Rasulullah bersabda, “Benarkah ia tidak tidur malam? Jangan begitu. Hendaklah kalian beramal sesuai dengan kemampuan kalian karena demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian sendiri yang bosan.”
Peristiwa di atas, menjadi pembelajaran berharga akan pentingnya keseimbangan hidup. Beribadah adalah tuntutan, tetapi menjaga kesehatan tubuh merupakan kebutuhan yang asasi. Keduanya mesti berjalan seimbang dan tidak saling tumpang tindih.
Al-Haula’ mendengar wejangan tersebut. Arahan Rasulullah itu sangat membekas dalam dirinya. Ibadah tetap ia lakukan secara kontinu dan konsisten. Tanpa melupakan hak-hak biologisnya.
Pengabdian
Al-Haula’ adalah istri yang taat dan peduli kebutuhan suami. Soal penampilan, al-Haula’ jagonya. Ia mengisahkan sendiri seperti apa aktivitasnya di rumah sehari-hari. Penjual parfum ini rutin mengenakan wewangian dan bersolek di hadapan suami.
Tak bosan-bosan ia berhias layaknya pengantin baru. Ini semata ia lakukan untuk mencari rida Allah dari kepuasaan dan kegembiraan sang suami. Bentuk pengabdian kepada suami.
Namun, suatu saat, al-Haula’ merasakan hal yang berbeda dari suami. Seperti biasanya, ia berdandan cantik untuk sang suami. Tetapi, kali ini responsnya dingin. Suaminya itu memalingkan wajahnya. “Aku menangkap kemarahan di wajah suamiku,” katanya. ondisi ini membuat hatinya gundah. Ia menghadap Aisyah dan mengadukan apa yang ia alami. Aisyah menyarankan agar al-Haula’ meminta petuah kepada Rasulullah secara langsung.
“Aku mendapati aroma wangi al-Haula’, apakah ia tengah berkunjung kemari? Apa yang ia cari?” kata Rasulullah.
Aisyah menjawab, “Ia datang bukan hendak menawari sesuatu, tetapi kedatangannya untuk mengadukan perilaku sang suami.”
Al-Haula’ lantas bertutur kisahnya kepada Nabi. “Pergilah, dengarkan dan taati suamimu wahai perempuan,” titah Rasul. Al-Haula’ pun bertanya, apa ganjaran yang akan ia terima dari buah ketaatannya?
Rasulullah menjawab bahwa hak suami atas istri ialah melayaninya sepenuh hati, tidak berpuasa satu hari pun tanpa seizinnya, kecuali puasa wajib. Jika tetap dilakukan maka istri itu akan berdosa dan puasanya tak diterima.
Rasul juga menjelaskan kepada al-Haula’, hendaklah istri tidak membelanjakan apa pun dari harta suami, kecuali dengan izinnya. Bila tetap dilakukan maka suami mendapat pahala, sedangkan istri berdosa.
Rasul juga bersabda, perempuan tidak boleh keluar rumah bila tak mengantongi izin suami. Bila tetap keluar tanpa izin maka Allah akan melaknatnya dan para malaikat murka sampai istri bertobat, sekalipun sang suami telah berlaku zalim.
Al-Haula’ menanyakan, apakah semua ini berlaku walaupun suami zalim? Rasulullah membenarkannya. “Lalu, apa ganjaran untuk istri yang taat?” tanya al-Haula’.
Rasulullah menjawab, tidak ada yang pantas bagi istri yang taat kepada suami, memenuhi haknya, mengumbar kebaikannya, dan tidak berkhianat atas jiwa dan hartanya, kecuali istri tersebut berhak atas satu derajat di bawah para syahid kelak di surga.
Jika sang suami seorang Mukmin dan berpekerti baik maka mereka akan dipertemukan kembali di surga. Bila tidak (mukmin dan berperangai baik) maka Allah akan menikahkannya dengan seorang syahid. Al-Haula’ contoh mulia bagi Muslimah. Ketaatannya semerbak, sewangi parfum yang ia perjualbelikan dan pergunakan.
Abu Naim al-Ashbahani, dalam kitabnya yang berjudul “Hilyat al-Auliya’ wa Thabaqat al-Ashfiya’—kitab yang memuat kumpulan para wali dan ahli zuhud—menyebutnya sebagai simbol bagi wanita yang bersungguh-sungguh beribadah kepada Allah SWT dan komitmen menempuh jalan tersebut.
Bahkan, lantaran kegigihan berolah spiritual, shahabiyah itu pun nyaris tak menghiraukan kesehatan dirinya. Semua itu, ia lakukan untuk mencapai rida-Nya. Sosok yang dimaksud al-Ashbahani itu, tak lain ialah Al-Haula’ binti Tuwait.
Tak banyak cerita tentang riwayat perihal kelahiran, keluarga, dan sepak terjang, serta catatan kematian tokoh yang bernama lengkap Al-Haula’ binti Tuwait bin Habib bin Asad bin Abd al-Uzza bin Qushayyi al-Quraisyiyah al-Asadiyah itu. Cerita tentang dirinya, dipenuhi dengan kisah ketaatannya.
Setelah berikrar syahadat dan berbaiat untuk taat kepada Rasulullah SAW pascaperistiwa hijrah, ia mendedikasikan hidupnya bagi agama. Satu hal lagi yang tampaknya disepakati para penulis sejarah, ia adalah teladan gemar ibadah dan cermin ketaatan. Prestasi inilah yang menempatkannya istimewa di sisi Rasulullah.
Aisyah RA menuturkan, Rasulullah pernah melakukan penyambutan khusus ketika al-Haula’ menghadap. Penyambutan hangat itu mengundang pertanyaan Aisyah. Apa yang membuat al-Haula’ dimuliakan sedemikian rupa?
Menurut Rasulullah, penghormatan itu diberikan lantaran al-Haula telah berkomunikasi baik dengan keluarga Nabi ketika Khadijah masih hidup meskipun al-Haula’ belum memeluk Islam.
Produktif
Produktivitas hidupnya tak diragukan. Siang hari, ia mencari nafkah sebagai penjual minyak wangi di Madinah. Profesinya itu pun tersohor hingga ia dijuluki at-tharah. Kala manusia tertidur lelap, kedua matanya terjaga.
Hatinya terpaku “berkomunikasi” dengan Tuhannya. Sepanjang malam, ia berzikir, bertasbih, bertahmid, dan menengakkan shalat. Hampir saja, ritualnya itu mengalahkan kesehatan fisiknya. Ia beribadah dan urung tidur malam. Kisah tentang ketekunannya yang menomorduakan kebutuhan dan hak jasmani pun menyebar luas. Kabar yang sama pula akhirnya sampai di telinga Aisyah, istri Rasulullah.
Aisyah mengabarkan kepada Rasulullah bahwa al-Haula’ binti Tuwait bin Habib bin Asad bin Abdul ‘Uzza melewatinya, sementara di sisinya ada Rasul.
Aisyah pun berkata, “Saya berkata, ‘Wanita ini adalah al-Haula’ binti Tuwait, orang-orang menganggap bahwa ia tidak pernah tidur malam.”
Maka, Rasulullah bersabda, “Benarkah ia tidak tidur malam? Jangan begitu. Hendaklah kalian beramal sesuai dengan kemampuan kalian karena demi Allah, Allah tidak akan bosan hingga kalian sendiri yang bosan.”
Peristiwa di atas, menjadi pembelajaran berharga akan pentingnya keseimbangan hidup. Beribadah adalah tuntutan, tetapi menjaga kesehatan tubuh merupakan kebutuhan yang asasi. Keduanya mesti berjalan seimbang dan tidak saling tumpang tindih.
Al-Haula’ mendengar wejangan tersebut. Arahan Rasulullah itu sangat membekas dalam dirinya. Ibadah tetap ia lakukan secara kontinu dan konsisten. Tanpa melupakan hak-hak biologisnya.
Pengabdian
Al-Haula’ adalah istri yang taat dan peduli kebutuhan suami. Soal penampilan, al-Haula’ jagonya. Ia mengisahkan sendiri seperti apa aktivitasnya di rumah sehari-hari. Penjual parfum ini rutin mengenakan wewangian dan bersolek di hadapan suami.
Tak bosan-bosan ia berhias layaknya pengantin baru. Ini semata ia lakukan untuk mencari rida Allah dari kepuasaan dan kegembiraan sang suami. Bentuk pengabdian kepada suami.
Namun, suatu saat, al-Haula’ merasakan hal yang berbeda dari suami. Seperti biasanya, ia berdandan cantik untuk sang suami. Tetapi, kali ini responsnya dingin. Suaminya itu memalingkan wajahnya. “Aku menangkap kemarahan di wajah suamiku,” katanya. ondisi ini membuat hatinya gundah. Ia menghadap Aisyah dan mengadukan apa yang ia alami. Aisyah menyarankan agar al-Haula’ meminta petuah kepada Rasulullah secara langsung.
“Aku mendapati aroma wangi al-Haula’, apakah ia tengah berkunjung kemari? Apa yang ia cari?” kata Rasulullah.
Aisyah menjawab, “Ia datang bukan hendak menawari sesuatu, tetapi kedatangannya untuk mengadukan perilaku sang suami.”
Al-Haula’ lantas bertutur kisahnya kepada Nabi. “Pergilah, dengarkan dan taati suamimu wahai perempuan,” titah Rasul. Al-Haula’ pun bertanya, apa ganjaran yang akan ia terima dari buah ketaatannya?
Rasulullah menjawab bahwa hak suami atas istri ialah melayaninya sepenuh hati, tidak berpuasa satu hari pun tanpa seizinnya, kecuali puasa wajib. Jika tetap dilakukan maka istri itu akan berdosa dan puasanya tak diterima.
Rasul juga menjelaskan kepada al-Haula’, hendaklah istri tidak membelanjakan apa pun dari harta suami, kecuali dengan izinnya. Bila tetap dilakukan maka suami mendapat pahala, sedangkan istri berdosa.
Rasul juga bersabda, perempuan tidak boleh keluar rumah bila tak mengantongi izin suami. Bila tetap keluar tanpa izin maka Allah akan melaknatnya dan para malaikat murka sampai istri bertobat, sekalipun sang suami telah berlaku zalim.
Al-Haula’ menanyakan, apakah semua ini berlaku walaupun suami zalim? Rasulullah membenarkannya. “Lalu, apa ganjaran untuk istri yang taat?” tanya al-Haula’.
Rasulullah menjawab, tidak ada yang pantas bagi istri yang taat kepada suami, memenuhi haknya, mengumbar kebaikannya, dan tidak berkhianat atas jiwa dan hartanya, kecuali istri tersebut berhak atas satu derajat di bawah para syahid kelak di surga.
Jika sang suami seorang Mukmin dan berpekerti baik maka mereka akan dipertemukan kembali di surga. Bila tidak (mukmin dan berperangai baik) maka Allah akan menikahkannya dengan seorang syahid. Al-Haula’ contoh mulia bagi Muslimah. Ketaatannya semerbak, sewangi parfum yang ia perjualbelikan dan pergunakan.